Metafora Kerapuhan Sebuah Bangsa Tanpa Kedaulatan Energi
Oleh: Dede Farhan Aulawi
Bayangkan sebuah kapal besar berlayar di tengah samudra luas, namun kemudinya digenggam oleh tangan asing. Ia memang tampak megah, penuh penumpang, dan berlayar dengan bendera kebanggaan nasional, tetapi setiap arah perjalanan, setiap bahan bakar yang dibakar untuk menggerakkannya, bergantung pada kemurahan hati pihak lain. Kapal itu adalah metafora bagi sebuah bangsa tanpa kedaulatan energi.
Kedaulatan energi bukan sekadar kemampuan menghasilkan listrik atau menyalakan mesin industri, melainkan simbol kemerdekaan sejati. Bangsa yang tidak mampu memenuhi kebutuhan energinya sendiri bagaikan tubuh besar dengan tulang rapuh: tampak kuat di permukaan, tetapi mudah patah ketika diterpa badai geopolitik atau krisis global. Ketika harga minyak dunia naik, ketika pasokan gas tersendat, atau ketika sumber energi impor terhenti, seluruh denyut kehidupan nasional ikut terguncang.
Energi adalah darah ekonomi. Ia mengalir dalam pembuluh industri, transportasi, dan rumah tangga. Tanpa suplai yang mandiri dan berkelanjutan, nadi pembangunan melambat, bahkan berhenti. Bangsa yang bergantung pada energi luar negeri sejatinya sedang menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada pihak lain, menjadikan keputusan nasional tunduk pada tekanan pasar global atau kepentingan negara pemasok.
Dalam metafora yang lebih dalam, kehilangan kedaulatan energi ibarat kehilangan api peradaban. Api yang seharusnya menyala dari tungku sendiri kini menunggu percikan dari luar. Api itu bisa padam sewaktu-waktu, meninggalkan gelap yang panjang. Dalam kegelapan itu, bangsa kehilangan arah, kehilangan daya tawar, bahkan kehilangan martabatnya di panggung dunia.
Bangsa yang berdaulat energi bukan hanya yang kaya sumber daya, tetapi yang mampu mengelola, mengembangkan teknologi, dan membangun kesadaran kolektif akan pentingnya efisiensi dan inovasi. Kedaulatan energi menuntut kemandirian dalam riset, investasi pada energi baru terbarukan, serta keberanian untuk melepaskan ketergantungan pada sumber fosil yang menua.
Indonesia, misalnya, memiliki potensi surya, angin, air, dan biomassa yang melimpah — ibarat ladang emas yang belum digarap. Jika potensi ini diolah dengan visi kedaulatan, bangsa ini tak hanya bisa menyalakan lampu rumah tangganya sendiri, tetapi juga menjadi lentera bagi bangsa lain.
Kerapuhan tanpa kedaulatan energi adalah peringatan moral dan strategis. Ia menuntun kita untuk bertanya: apakah kita ingin menjadi bangsa penumpang yang terus berharap, atau nakhoda yang mengendalikan arah masa depan?
Kedaulatan energi adalah pondasi bagi kedaulatan ekonomi, politik, dan bahkan budaya. Tanpanya, bangsa akan terus berdiri di atas pasir rapuh, menunggu waktu hingga ombak perubahan menenggelamkan pijakannya. Namun, dengan kedaulatan energi, bangsa akan berdiri di atas batu karang — kuat, mandiri, dan mampu menatap masa depan dengan terang yang menyala dari api sendiri.

Comment