Oleh: Dede Farhan Aulawi
Belakangan ini, banyak pertanyaan masuk terkait kerusuhan yang terjadi di berbagai negara, mulai dari Indonesia, Nepal, hingga Prancis. Apakah gejolak tersebut murni akibat kesulitan ekonomi, atau ada kaitannya dengan revolusi berwarna (Colour Revolution), sebuah strategi intelijen yang sering dikaitkan dengan CIA?
Apa itu Colour Revolution?
Secara sederhana, Colour Revolution adalah strategi destabilisasi yang dilakukan untuk mengganti rezim pemerintahan di negara yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan Amerika Serikat. Operasi ini biasanya dilakukan melalui dukungan kepada gerakan pro-demokrasi, pro-Barat, atau kelompok oposisi, dan sering dikemas dalam bentuk demonstrasi besar-besaran yang sarat simbolisme.
Beberapa ciri khas revolusi berwarna antara lain:
-
Simbolisme warna atau bunga, seperti Revolusi Oranye di Ukraina dan Revolusi Mawar di Georgia.
-
Demonstrasi massal dan protes publik.
-
Pemanfaatan media sosial dan LSM internasional.
-
Dukungan lembaga Barat, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Sejak era Perang Dingin, CIA terlibat dalam berbagai operasi rahasia (covert operations) di negara-negara yang dianggap mengancam kepentingan strategis, ekonomi, atau ideologis AS. Keterlibatan ini bisa bersifat langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui:
-
Pendanaan dan pelatihan aktivis oposisi lokal.
-
Propaganda media dan manipulasi opini publik.
-
Dukungan terhadap NGO dan gerakan pro-demokrasi “pro-Barat”.
Contoh revolusi berwarna yang terkenal:
-
Revolusi Bulldozer (Serbia, 2000): Melalui NGO seperti Otpor dan dukungan AS, rezim Slobodan Milošević digulingkan.
-
Revolusi Mawar (Georgia, 2003): Dukungan pada partai oposisi dan NGO berhasil menumbangkan Eduard Shevardnadze.
-
Revolusi Oranye (Ukraina, 2004): Didukung USAID, Freedom House, dan NED, mengubah hasil pemilu yang kontroversial.
-
Revolusi Tulip (Kyrgystan, 2005): Propaganda Barat membantu penggulingan rezim lama.
Lembaga seperti USAID, National Endowment for Democracy (NED), dan Open Society Foundations sering dituduh mendanai LSM dan gerakan pro-demokrasi. Tujuan utama operasi ini adalah:
-
Menjaga hegemoni AS.
-
Mengamankan sumber daya strategis seperti minyak dan logam.
-
Membendung pengaruh negara rival, seperti Rusia, China, atau Iran.
-
Menyebarkan versi demokrasi liberal sesuai kepentingan AS.
Namun, banyak operasi ini juga menimbulkan instabilitas politik, perang sipil, rezim otoriter baru, dan kehancuran ekonomi. Dukungan AS terhadap demokrasi seringkali bersyarat pada keuntungan strategisnya.
Beberapa contoh sejarah:
-
Iran (1953 – Operasi Ajax): Menggulingkan PM Mohammad Mossadegh, menggantikannya dengan Shah pro-Barat.
-
Chile (1973): Kudeta terhadap Presiden Allende yang terpilih secara demokratis, mendukung Jenderal Pinochet berkuasa.
-
Guatemala (1954 – Operasi PBSUCCESS): Menggulingkan Presiden Jacobo Árbenz karena reformasi agraria yang merugikan perusahaan AS.
Tulisan ini diharapkan menjadi pengingat bagi masyarakat Indonesia agar tetap waspada terhadap rongrongan asing yang bisa mengganggu stabilitas keamanan dalam negeri. TNI dan Polri perlu menjaga soliditas, serta masyarakat jangan mudah terprovokasi skenario adu domba, propaganda, atau agitasi opini dari pihak manapun.
Referensi:
-
Legacy of Ashes: The History of the CIA – Tim Weiner
-
Dokumen deklasifikasi CIA (FOIA)
-
Investigasi jurnalis: Seymour Hersh, John Pilger
-
Laporan lembaga: WikiLeaks, The Intercept

Comment