Pada awal April 2025, dunia menyaksikan perkembangan mengejutkan dalam perekonomian global. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani Executive Order 14257, yang dikenal dengan nama “Liberation Day Tariffs.” Kebijakan ini menetapkan tarif universal sebesar 10% terhadap hampir semua barang impor ke AS, dengan tambahan tarif yang lebih tinggi terhadap negara-negara tertentu. Tujuannya adalah untuk memperkecil defisit perdagangan AS dan memberikan tekanan ekonomi terhadap negara-negara pesaing.
Reaksi Internasional: China dan Uni Eropa Melawan
Kebijakan proteksionis ini segera memicu respons tajam dari negara-negara mitra dagang utama. China, sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, membalas dengan mengenakan tarif sebesar 34% terhadap semua produk AS mulai 10 April 2025. Kementerian Perdagangan China mengecam kebijakan Trump sebagai tindakan “bullying unilateral” yang melanggar prinsip perdagangan bebas.
Sementara itu, Uni Eropa juga tidak tinggal diam. UE mengenakan tarif balasan sebesar 25% terhadap produk-produk AS senilai 21 miliar euro. Barang-barang seperti kedelai, daging sapi, dan kapal pesiar terkena dampaknya. UE berharap tekanan ini akan memaksa AS untuk meninjau kembali kebijakannya.
Dampak Langsung pada Pasar Keuangan
Pasar keuangan merespons negatif terhadap perang dagang ini. Indeks saham utama AS seperti S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing turun lebih dari 15% dan 21% sejak awal tahun. Di Jepang, indeks Nikkei jatuh hampir 8%, sementara indeks TSX Kanada turun hampir 5% hanya dalam satu hari.
Ketidakpastian ini membuat investor global panik, meningkatkan permintaan terhadap aset aman seperti emas dan obligasi pemerintah. Volatilitas pasar melonjak tajam, memperkuat kekhawatiran akan potensi resesi global.
Peringatan dari Dunia Keuangan
Jamie Dimon, CEO JPMorgan Chase, memperingatkan bahwa peningkatan tensi perdagangan dapat memicu resesi global dan lonjakan gagal bayar. Larry Fink dari BlackRock bahkan menyatakan bahwa dunia kemungkinan besar sudah berada di ambang resesi. Kedua tokoh tersebut menyoroti pentingnya kestabilan kebijakan perdagangan demi mempertahankan investasi jangka panjang.
Kebijakan yang Membingungkan: Penangguhan Mendadak
Dalam langkah yang mengejutkan, Presiden Trump menangguhkan tarif yang baru diberlakukan hanya 13 jam setelah mulai berlaku, dengan masa tenggang 90 hari. Meskipun langkah ini diklaim sebagai strategi negosiasi, penangguhan mendadak tersebut memicu kebingungan besar di kalangan pelaku bisnis dan investor.
Banyak perusahaan yang akhirnya memilih menunda keputusan investasi dan perekrutan tenaga kerja karena ketidakpastian yang terus berubah-ubah. Ketidakjelasan arah kebijakan ekonomi AS menciptakan suasana bisnis yang tidak kondusif.
Inggris Kena Imbas, FTSE 100 Merosot
Inggris tidak termasuk dalam daftar negara yang mendapatkan penangguhan tarif, sehingga tetap dikenakan bea masuk 10% oleh AS. Akibatnya, indeks saham FTSE 100 merosot hampir 3%, mencapai titik terendah dalam 13 bulan. Perdana Menteri Sir Keir Starmer mengimbau perlunya kerja sama yang lebih erat dengan Uni Eropa dan menunda balasan langsung terhadap AS.
Pandangan OECD dan Prospek Ekonomi Global
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebelumnya memperkirakan pertumbuhan global sebesar 3,3% pada 2025 dan 2026. Namun, dalam laporan terbarunya pada Maret 2025, OECD mengungkapkan bahwa risiko inflasi tinggi, perang dagang, dan kebijakan proteksionis mengaburkan prospek pertumbuhan tersebut.
OECD mendesak semua negara untuk menahan diri dari tindakan sepihak dan mendukung sistem perdagangan global yang terbuka dan berbasis aturan. Pembatasan perdagangan hanya akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan konsumsi global.
Comment