Oleh: Dede Farhan Aulawi
Kerajaan Galunggung merupakan salah satu entitas sejarah Sunda yang menarik untuk dikaji. Informasi tentangnya diperoleh dari hasil penelitian arkeologi, prasasti, serta naskah kuno. Namun, sebagian masih berupa hipotesis dan belum disepakati sepenuhnya oleh para ahli.
Prasasti Geger Hanjuang
Bukti arkeologis yang paling kuat adalah Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di Desa Linggamulya, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Dalam prasasti tersebut tertulis bahwa pada tahun 1033 Saka (sekitar 1111 M), penguasa bernama Batari Hyang memperkuat pertahanan ibu kota di Rumantak.
Prasasti ini sekaligus menandai transformasi Galunggung dari kabuyutan (pusat suci dan spiritual Hindu–Buddha Sunda) menjadi sebuah kerajaan yang memiliki struktur pemerintahan lebih jelas. “Kabuyutan” sendiri berarti tempat suci tempat para resi, pendeta, dan pemuka agama melaksanakan ritual, doa, serta pengajaran.
Awal Pemerintahan
Berdasarkan interpretasi prasasti, Batari Hyang naik takhta pada 13 Bhadrapada 1033 Saka (21 Agustus 1111 M). Ia mengambil alih kekuasaan dari Resi Guru sebelumnya. Sebelum era Batari Hyang, beberapa nama sesepuh atau Batara yang disebut antara lain Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, dan Batara Wastuhayu.
Amanat Galunggung dan Tradisi Naskah
Kerajaan ini juga dikenal dengan naskah berjudul Amanat Galunggung, yang memuat ajaran dan petuah leluhur, mulai dari kewajiban menjaga pertahanan (parit dan susuk), kewajiban ritual, hingga tanggung jawab spiritual seorang penguasa. Ajaran tersebut diyakini berpengaruh hingga masa kejayaan Kerajaan Pajajaran, khususnya pada era Prabu Siliwangi.
Perdebatan Sejarah
Meski terdapat bukti prasasti, masih banyak aspek Kerajaan Galunggung yang belum jelas. Misalnya:
-
Luas wilayah kekuasaan masih diperdebatkan. Ada dugaan Galunggung merupakan kerajaan bawahan atau berada dalam pengaruh Kerajaan Sunda/Galuh.
-
Status politik dan ekonomi belum memiliki data kuat karena minimnya temuan arkeologis.
-
Campuran fakta dan legenda sering muncul dalam naskah lokal, sehingga sulit memisahkan sejarah objektif dari mitos.
Hingga kini, bukti arkeologis berupa bangunan, infrastruktur militer, maupun artefak perdagangan masih sangat terbatas. Oleh sebab itu, interpretasi atas prasasti dan naskah kuno seperti Amanat Galunggung harus dilakukan hati-hati melalui transliterasi, terjemahan, dan analisis konteks.
Penutup
Kerajaan Galunggung menjadi contoh betapa sejarah lokal Sunda kaya dengan warisan budaya dan spiritual. Meski banyak bagian masih samar, penelitian atas prasasti dan naskah kuno terus memberi cahaya baru bagi pemahaman sejarah Nusantara.

Comment