Bandung, 7 Juni 2025 – Pemerhati Intelijen Dede Farhan Aulawi kembali menyoroti pentingnya penguatan kapasitas sumber daya manusia dalam dunia intelijen nasional. Kali ini, ia menggagas pelaksanaan uji psikologi calon intelijen bela negara berbasis pada pendekar – yakni individu dari masyarakat umum yang memiliki keahlian dalam seni bela diri seperti Pencak Silat, Karate, Taekwondo, Kung Fu, Judo, Muay Thai, Boxing, Hapkido, Aikido, Capoeira, dan lainnya.
“Tantangan dan ancaman nasional terus berubah seiring dengan dinamika zaman, terutama karena perkembangan teknologi dan kepentingan nasional berbagai negara. Di sinilah peran intelijen profesional menjadi sangat vital untuk membaca, mengantisipasi, dan mengatasi perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat berubah,” ujar Dede saat ditemui di Bandung, Sabtu (7/6).
Menurutnya, para calon intelijen harus melalui seleksi psikologis yang komprehensif, bukan hanya karena beban kerja yang berat, tetapi juga karena dunia intelijen sangat menuntut pemahaman yang mendalam atas perilaku manusia.
Bela Diri sebagai Basis Awal
Gagasan berbasis pendekar ini menurut Dede bukan tanpa alasan. “Setidaknya ada tiga ciri khas dari intelijen profesional: kemampuan bela diri, keterampilan menggunakan senjata dan peralatan intelijen, serta adaptasi pengetahuan dan seni intelijen yang terus berkembang.”
Ia menekankan bahwa insan intelijen dituntut rajin belajar, gemar membaca, terus berlatih, dan mampu bersosialisasi dalam berbagai situasi sosial – termasuk dengan segala dinamika seni peran yang biasa ditemukan dalam dunia intelijen.
Psikologi sebagai Pilar Evaluasi
Intelijen tidak hanya bekerja dengan data dan angka. Dede menjelaskan, pemahaman tentang motif, niat, dan potensi ancaman dari individu atau kelompok sangat erat kaitannya dengan psikologi. Psikologi forensik, analisis kepribadian, dan psikologi sosial menjadi fondasi dalam mengolah informasi intelijen, khususnya dalam menghadapi potensi spionase, terorisme, dan bentuk kejahatan lainnya.
“Tes psikologi penting untuk mengidentifikasi tanda-tanda perilaku mencurigakan, menilai ketahanan mental, kemampuan adaptasi di bawah tekanan, serta keahlian dalam pengambilan keputusan dalam situasi krisis,” jelasnya.
Pendekatan Ilmiah dalam Pengujian
Dede juga mengungkapkan bahwa uji psikologi ini akan menggunakan standar ilmiah dan akademik yang diakui secara internasional. “Kami menggunakan pendekatan yang mencakup Tes Binet-Simon, Stanford-Binet Intelligence Scale, WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale), dan Matriks Progresif Raven.”
Tujuan dari tes-tes ini adalah untuk mengukur berbagai aspek kecerdasan, seperti:
-
VCI (Verbal Comprehension Index) – pemahaman verbal
-
PRI (Perceptual Reasoning Index) – penalaran perseptual
-
WMI (Working Memory Index) – memori kerja
-
PSI (Processing Speed Index) – kecepatan pemrosesan
Hasilnya akan dirangkum dalam dua skor utama: FSIQ (Full Scale IQ) dan GAI (General Ability Index). GAI dipakai sebagai ukuran kemampuan intelektual yang lebih independen dari memori kerja dan kecepatan pemrosesan.
Integrasi Pelatihan Psikologis dalam Pendidikan Intelijen
Tak hanya pada tahap seleksi, psikologi juga akan digunakan dalam pelatihan lanjutan. Peserta dididik dalam keterampilan manajemen stres, teknik wawancara kognitif, serta pengambilan keputusan dalam kondisi ekstrem. Pelatihan ini diharapkan dapat membentuk agen intelijen yang mampu berimprovisasi secara kreatif dan bertanggung jawab di lapangan.
“Kemampuan untuk membaca dan menggali informasi dari informan sangat bergantung pada keterampilan psikologis seorang agen. Teknik seperti wawancara motivasional atau wawancara berbasis kognitif menjadi sangat relevan dalam konteks ini,” tambah Dede.
Menjawab Tantangan Masa Depan
Melalui pendekatan integratif antara kemampuan fisik (bela diri) dan evaluasi psikologi mendalam, Dede Farhan Aulawi berharap lahir agen-agen intelijen bela negara yang profesional, tangguh, dan memiliki sensitivitas tinggi terhadap berbagai ancaman nasional.
“Kita membutuhkan insan intelijen yang bukan hanya kuat fisiknya, tapi juga cerdas, lincah berpikir, dan memiliki moralitas kebangsaan yang tinggi. Pengujian ini adalah bagian dari upaya menjawab tantangan masa depan,” pungkasnya.
Referensi Ilmiah:
-
Carroll, J. B. (1982). The measurement of intelligence – Cambridge University Press.
-
Hunt, W. A., & Stevenson, I. (1946). Psychological testing in military clinical psychology – Psychological Review.
-
Kevles, D.J. (1968). Testing the army’s intelligence – Journal of American History.
-
Yerkes, R.M. (1921). Psychological Examining in the United States Army – Government Printing Office.
Penulis: Herman Geplak
Comment